Thursday, January 19, 2012

South Alps of Japan (Part 2)

8 Oktober 2011

Kitadake Kata-no-Goya (3000 mdpl) -> Kitadake (3192 mdpl) -> Kitadake Sansou -> Ainodake (3189 mdpl) -> Noutoridake Goya

Begitulah plan perjalanan hari ini. Menyusuri rock face tinggi bernama Kitadake, puncak ke-dua tertinggi di Jepang setelah gunung Fuji. "Hari ini tidak begitu berat", kata secarik kertas fotokopian dari sebuah buku panduan pegangan kami. Well, berat itu relatif, pikir ane. Bisa jadi dibalik elevation gain/loss yang rendah tersembunyi scrambling route yang mendebarkan...

Gunung Fuji saat subuh (credits: Handoko Luo)


"Pip-pip-pip", alarm jam yang diset pukul 4:30 pagi memecah keheningan campsite yang membisu. Ane terbangun dan menyadari letak sleeping pad, barang-barang, dan pole sudah melorot akibat tanah miring yang ane tiduri. Ane segera mencari headlamp, bangun, menunggu nyawa ane balik, dan lalu bertayamum, untuk menunaikan kewajiban shalat subuh beralaskan selembar sit pad evazote yang selalu menemani di setiap perjalanan.

Subuh (credits: Dewi sensei)


Setelah itu, ane lantas ke meninggalkan campsite, masuk dalam Goya (Hut) untuk memanggil Sensei dan Doko yang menginap di dalam. Di dalam, suasana sudah ramai oleh para hikers yang didominasi oleh kakek-nenek berumur 50-60 tahun-an. Para pekerja di Goya tengah sibuk berlalu lalang mempersiapkan sarapan. Di antaranya adalah seorang wanita muda berumur 25-an, yang kemarin kami sempat mengobrol dengannya bahwa ia pernah tinggal 4 tahun di India untuk belajar Yoga. "Saramat pagi", katanya. "Saramat pagi, saramat pagi, saramat pagi," ia mengulang-ulang terjemahan "ohayo gozaimasu" yang kami ajarkan kemarin. "Cewek itu hidup", kata Doko. Sementara ane cuma nyengir aja.

Kitadake Kata no Goya (credits: Dewi sensei)

Ane segera memastikan jam berapa keberangkatan hari ini kepada Sensei selaku leader. Karena pagi yang cukup dingin, maka kami meputuskan untuk berangkat sekitar jam 8 pagi.

Menjelang sunrise

Melihat orang-orang sudah mulai sarapan, ane segera kembali ke tenda untuk mengambil peralatan masak. Ketika ane keluar, ternyata pagi sudah mulai terang, meski belum sunrise. Sekembali dari tenda ane melihat ada air kran, namun ane bingung karena airnya tidak bisa keluar. "Kotteru (beku)," kata seorang nenek. Oh iya, ini suhu -6 C, pikir ane. Tidak terasa, tanda down jacket, Powerstretch glove, dan fleece pants ane bekerja efektif.

Tent site menjelang sunrise (credits: Dewi sensei)


Maka ane berinisiatif membeli air 1 liter seharga 100 yen untuk menyeduh nasi dan susu hangat. Lighter pun ane keluarkan untuk membakar tablet esbit yang baunya seperti telur busuk itu. Ya, dengan berat sekitar 5 gram/tablet untuk merebus air 700mL dan bau telur busuk, Esbit adalah pedang bermata dua bagi ultralight hikers. Hal ini diperparah oleh macetnya lighter ane, yang untungnya ada kakek berbaik hati meminjamkan lighternya.


Tempat mengambil air (credits: Handoko Luo)

Selagi menunggu air matang, para hikers terlihat bergegas keluar Goya, yang tandanya waktu matahari terbit. Sensei segera menghabiskan makan, keluar, dan kembali dalam keadaaan ingusan. "Dingiin", katanya. Berikutnya Doko juga keluar, dan kembali dengan ekspresi yang sama. Hmmm... begitu matang, ane segera menyeduh nasi, dan mengambil foto sunrise. Tripod segera ane keluarkan, namun gagal untuk men-deploy secara penuh karena salah satu kakinya membeku. Ternyata memang dingin... :(

Sunrise


Setelah puas berfoto ria, ane segera kembali untuk menghabiskan sarapan dan menyeruput susu hangat. Setelah itu, ane bergegas kembali untuk berganti pakaian, buang air di toilet (ya, ada toilet di 3000 mdpl namun tanpa air), dan packing. Sewaktu packing, ane melihat formasi es terbentuk di tas ane yang diletakkan di luar tenda semalaman. Segera ane pecahkan karena tasnya mau dipakai...


Tarp dan tas yang membeku (credits: Dewi sensei)

Perjalanan hari ini dimulai dari pendakian dengan gain sekitar 200m menuju puncak Kitadake. Semakin kami mendaki, semakin kecil Goya terlihat... di tengah jalan kami berpapasan dengan beberapa orang yang sudah kembali dari puncak Kitadake (karena berangkat subuh). Di peta memang terlihat pendek, tapi ternyata memang ada beberapa scrambling section, dan itulah kenapa jangan cepat gembira dengan "pendek"nya peta...

Meninggalkan Kata no Goya (credits: Dewi Sensei)
Kata no Goya dari Kejauhan


Di tengah jalan, kami bertemu lagi dengan Saeko-san, perempuan paruh baya yang berkenalan saat di Goya. Kami saling ambil foto, dan akhirnya beliau jadi ikut bersama kami. Tidak lama, karena dalam sekitar 1 jam akhirnya kami sampai di Kitadake, puncak tertinggi kedua se-Jepang, dan puncak pertama kami di Japan South Alps! Thank God! Kami segera mengambil banyak foto dari puncak utama ini, sedangkan Saeko-san langsung menangis karena ia berhasil memuncaki Kitadake dalam keadaan cerah (Agustus kemarin ia ke sini, tapi full berawan). Setelah alay-alay sebentar, kami akhirnya melanjutkan perjalanan duluan, sementara Saeko san mengeluarkan kompor untuk memasak mie instan sambil menikmati gunung Fuji di kejauhan...

Ketemu lagi dengan Saeko-san

Next track (credits: Handoko Luo)

Sampai ke puncak tertinggi ke-2 se-Jepang (credits: Handoko Luo)

Ada yang iseng di puncak (credits: Handoko Luo)

I like this. Me gusta LOL :p


Tujuan berikutnya adalah menuruni Kitadake "sebentar" untuk menuju Kitadake Sansou (Sansou = Mountain Cottage). Yang ternyata lebih curam daripada mendakinya, sampai ane harus menyimpan trekking pole ane. Beberapa jam lamanya kami disuguhi sekuens "naik", "turun", "naik", "turun" di antara rock face Kitadake, namun akhirnya atap Kitadake Sansou terlihat dari kejauhan. Tentu saja, spirit kami naik kembali, dan akhirnya Kitadake Sansou dicapai jam 12 siang. Mountain Cottage ini jauh lebih modern dan bersih daripada Goya (Hut) sebelumnya, dan makanannya pun lebih enak: kare. Sensei memesan 1 porsi untuk makan siang, sementara ane menghabiskan Power Bar dan 1/3 trail mix ane.

Next track after Kitadake

Bersiap untuk trek yang sedikit terjal (credits: Dewi sensei)

Kitadake Sansou dari kejauhan (credits: Handoko Luo)

Menuruni punggungan (credits: Handoko Luo)

Sampai di Sansou (credits: Dewi sensei)

Kare sayur lezat di Sansou (credits: Dewi sensei)

Setelah makan siang dan "menikmati" bersihnya toilet Kitadake Sansou, kami bertolak lagi untuk menuju puncak kedua hari ini, Ainodake. Cuaca telah berubah dari cerah menjadi berawan, dan dari kejauhan kami melihat Ainodake diliputi awan tebal. Kami berharap tidak apa-apa, tapi di tengah jalan kami bertemu dengan orang yang pakaiannya sama persis dengan ane, jaketnya merah, tasnya biru, celananya coklat, hiiii.... poltergeist kah?:p

Berangkat lagi (credits: Dewi sensei)


Ketemu yang warna baju dan tasnya sama... hiii (credits: Dewi sensei)

Awan kelam saat menuruni Aino-dake


Dan memang, setelah kami memasuki awan tersebut, ane rasakan angin bertiup lebih kencang. Segera ane pasang mode full hood full balaclava, karena kalau tidak ingus yang berleleran ini akan semakin parah.

Sekitar jam 3 sore, akhirnya kami sampai di Ainodake (3189 mdpl). Karena sudah penat dan anginnya sangat kencang, kami hanya berfoto sebentar di sana, bergegas untuk ke penginapan kami hari ini yang bernama Noutoridake Goya (Hut).

Sampai di Ainodake. Yeah! (credits: Handoko Luo)

Next track to Noutoridake

Walking on a barren path

Jalan terus!

Perjalanan terus menerus menurun, dengan medan berbatu tetapi penuh dengan alpine plants di sekeliling membuat perjalanan menurun tidak terasa karena dikelilingi pemandangan eksotis tersebut. Meski ane berjalan paling lambat di belakang, namun akhirnya... jam 4:30 kami tiba di Noutoridake-Goya.

Noutoridake Goya (credits: Handoko Luo)


Penjaga dari hut ini hanya kakek-kakek seorang diri, yang ketika kami tiba sedang sibuk mempersiapkan makan malam. "Mau nginep? Udah nggak bisa pesan makan malam! Nggak papa?", katanya. Kami bertiga mengiyakan dan langsung memesan 2 space untuk tenda (saya, Sensei) dan kamar (Doko).Ketika sang kakek keluar menampakkan batang hidungnya, pandangan kami tertuju pada pecinya... ya, ia mengenakan peci! Ia menanyakan dari mana kami berasal, "Indonesia", jawab kami. Matanya langsung berbinar, "wah, saya pernah kerja di Kalimantan 4 tahun!", katanya. Kami langsung saling menatap keheranan, kebetulan yang aneh... ia menanyakan lagi, "siap peralatan tidurnya? dingin banget hari ini! minus 3!", kami bertiga mengiyakan, meski saya ragu dengan SB milik Sensei yang meski ringan hanya memiliki rating 10 C. Ia terlihat khawatir, dan tanpa disangka-sangka, "ya udah, tidur aja di bangunan satu lagi, gratis!". Wow! Kami tidak percaya, secara ongkos menginap saja memakan 3500 yen/malam (~400rb rp).

Akhirnya kami ditunjukkan ke sebuah ruangan sederhana, tanpa penghangat, tanpa selimut, tapi cukup sebagai pengganti tenda. "Nanti saya ambilkan air panas! Gratis!", katanya lagi. Wah, kami senang sekali... semoga Tuhan membalas kebaikanmu kelak...

Bersambung...

2 comments: